Terimakasih untuk orang-orang yang selama ini membuatku
semakin kuat dan kebal. Untuk luka yang pernah mereka buat dan tanamkan pada
diriku. Yang sekarang telah bertransfigurasi menjadi sistem penguatku.
Terimakasih J
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku adalah jenis manusia yang bisa dikategorikan sebagai
‘aneh’. Mungkin? Setidaknya mendekati istilah itu. Aku dibesarkan dengan
tuntutan kesempurnaan. Nomor satu adalah ukuran untuk semua yang kulakukan.
Mainan, perhatian, pemahaman dan sekolah, bahkan penampilan. Aku memang tidak
cantik. Tapi, bila boleh kusombongkan, aku mempunyai sesuatu di wajahku,
sesuatu yang lain yang mungkin saja tidak dimiliki orang lain, ekspresiku,
berbeda dari semua orang. Dan yang lebih spesifik, mataku. Mataku adalah hal
termudah untuk memahamiku, dan mataku adalah pusat dari daya istimewaku. Itulah
yang kupahami, benar-benar kupahami tentang diriku.
Memang, aku bukan nomor satu, sampai sebelum aku berumur 12
tahun. Aku nomor dua, satu level dibawah teman laki-laki ku masa kecil. Dan
sampai sekarang, aku tetap nomor dua, tetap setelahnya. Sekali aku
mengalahkannya, dan satu hal yang kuingat, “tak harus jadi nomor satu untuk
menjadi yang terbaik. Dan tak selamanya kita menang”. Itulah katanya. Aku mulai
memahaminya, dan mencoba mengerti.
Aku adalah anak dengan imajinasi liar. Bahkan sebelum aku
mengenal taman kanak-kanak. Apa itu normal? Mungkin iya. Aku selalu
merencanakan kehidupanku di masa depan, imajinasi berlebihan mungkin. Tapi
jangan salah, imajinasiku tak selalu indah, bahkan tragis. Wajarkah? Hingga
suatu waktu aku berimajinasi tentang sebuah penyakit yang menyerangku, dan itu
terjadi ! oops.. tapi satu lagi keistimewaanku(mungkin). Keyakinanku. Aku bisa
mengendalikan hidupku dengan keyakinan. Penyakit itu hilang. Tak berbekas,
hanya dengan keyakinan.
Seiring waktu, aku bertambah dewasa, usiaku semakin
bertambah. Dan masuklah aku di duniaku, remaja. Aku masih berjuang menjadi
nomor satu. Tapi bedanya, itu bukan ukuranku. Hanya sebuah ambisi pemuas
orangtuaku. Perlahan, aku mulai memaknai hidupku. Aku mulai bisa merasakan apa
itu sakit dan pengorbanan untuk orang lain, diluar kita dan orang tua. Bukan
hanya ambisi dan obsesi yang hidup di dalamku. Aku mengerti tentang
cinta,setidaknya demikian. Tapi inilah hidupku, mereka yang yang kusayangi menuliskan
sebuah kisah dengan tinta hitam atas hidupku. Yang pada akhirnya kusebut
pengkhianatan dan kepurapuraan. Seperti yang kuimajinasikan saat kecilku.
Menghadapi bad boy, pengkhianatan, kejenuhanku, aku menyakiti orang yang tulus
menyayangiku, kesalahan meletakkan keputusan dan yang baru saja kuhadapi,
pengorbanan bodohku. Saat itu adalah masa dimanan aku merasakan hidup tanpa
merasakan apapun. Luka batin akibat keyakinanku sendiri. Pengorbanan hati yang
selalu melindingi dia dari pikiran terjahatku, yang bisa kukatakan…membodohi
diri dari realita yang ada… aku hanyalah--à
KOMPLEMENTER baginya.
Tapi aku bersyukur tentang satu hal, luka-luka, masa-masa
kebas itu kini telah bertransformasi menjadi sistem penguatku. Aku menjadi
manusia utuh, setelah menghadapi semua rasa sakit itu. Aku menjadi Divina yang
melampaui Divina 4 tahun lalu, atau bila boleh kulebihkan, melampui Divina
semenjak dilahirkan.
“Kak, kantongin kunci motor gue!”, seorang cowok 18 tahun,
dengan sleeve putih dan celana basket biru donker melemparkan kunci motornya
kepadaku. Aku menangkapnya, dan kuletakkan disisi tempatku duduk. Di teras
sebuah aula di sisi kiri lapangan basket. Aku memperhatikan cowok 18 tahun itu,
Ara, yang sekarang sibuk dengan bola basketnya, dengan beberapa teman laki-lakinya.
Aneh memang, duduk disini, menunggunya latihan basket,
layaknya menunggui seorang pacar. Hampir setiap minggu. Mendengarkan obsesi dan
cita-citanya. Dia Ara, yang entah akan kusebut apa, teman atau adik atau….
Entahlah. Kami dekat dan sama..sifat kami sama dan aku takbisa mengatakannya,
apakah kami saling memahami atau tidak. Waktu yang kami habiskan selalu di isi
dengan saling meneriaki dan menyangkal ucapan satu sama lain. Karena sifat kami
memang selalu sama. Terutama sisi keras kepala.
Aku tak tahu akan tetap sepeprti ini sampai kapan.
Menjemputku hanya untuk menyuruhku menungguinya di lapangan basket seperti ini.
Menemaniku menyelesaikan tugas kuliah hanya untuk memancingku untuk sebuah
argumen yang nantinya dia sangkal dan meneriakiku. Memintaku memilihkan sepatu
basket untuknya, hanya untuk menolak pilihanku. Ara memang
benar-benar…entahlah, apa definisi untuknya.
Apa aku tidak takut merasakan luka lagi? Kurasa tidak.
Itulah perbedaannya. Aku membiarkan semuanya berjalan seadanya. Dan aku telah
menghadapi lebih banyak sebelumnya. Dan aku cukup yakin, aku kuat.
“Div ! Divina.. woy!”
Aku kembali dari pikiranku. Ara sudah jengkel setengah mati,
menatapku. Sepertinya sudah dari tadi dia memanggilku. Aku menaikkan sebelah
alisku. “lemparin botol minum gue songong !”
Aku meraih botol di dekat kunci motor Ara. Setengah
tersenyum… Dialah ARA !
0 komentar:
Post a Comment