26.9.12 - 2 komentar

for you.. ._.



You make me smile by your face, your laugh, your voice, even your hair... But, me. I make you smile by admiring all of that. To you its all superficial. To me its real.

Sometimes I wish I could just grab him, shake him and make him realize how much I want him, but now when I see him smile, I want to cry more than I want to smile with him cuz I wnat him so bad it hurts.

Love him wasn't the problem, getting close was.
20.9.12 - 0 komentar

┌("˘o˘)┐Fiksikah


Terimakasih untuk orang-orang yang selama ini membuatku semakin kuat dan kebal. Untuk luka yang pernah mereka buat dan tanamkan pada diriku. Yang sekarang telah bertransfigurasi menjadi sistem penguatku. Terimakasih J

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku adalah jenis manusia yang bisa dikategorikan sebagai ‘aneh’. Mungkin? Setidaknya mendekati istilah itu. Aku dibesarkan dengan tuntutan kesempurnaan. Nomor satu adalah ukuran untuk semua yang kulakukan. Mainan, perhatian, pemahaman dan sekolah, bahkan penampilan. Aku memang tidak cantik. Tapi, bila boleh kusombongkan, aku mempunyai sesuatu di wajahku, sesuatu yang lain yang mungkin saja tidak dimiliki orang lain, ekspresiku, berbeda dari semua orang. Dan yang lebih spesifik, mataku. Mataku adalah hal termudah untuk memahamiku, dan mataku adalah pusat dari daya istimewaku. Itulah yang kupahami, benar-benar kupahami tentang diriku.

Memang, aku bukan nomor satu, sampai sebelum aku berumur 12 tahun. Aku nomor dua, satu level dibawah teman laki-laki ku masa kecil. Dan sampai sekarang, aku tetap nomor dua, tetap setelahnya. Sekali aku mengalahkannya, dan satu hal yang kuingat, “tak harus jadi nomor satu untuk menjadi yang terbaik. Dan tak selamanya kita menang”. Itulah katanya. Aku mulai memahaminya, dan mencoba mengerti.

Aku adalah anak dengan imajinasi liar. Bahkan sebelum aku mengenal taman kanak-kanak. Apa itu normal? Mungkin iya. Aku selalu merencanakan kehidupanku di masa depan, imajinasi berlebihan mungkin. Tapi jangan salah, imajinasiku tak selalu indah, bahkan tragis. Wajarkah? Hingga suatu waktu aku berimajinasi tentang sebuah penyakit yang menyerangku, dan itu terjadi ! oops.. tapi satu lagi keistimewaanku(mungkin). Keyakinanku. Aku bisa mengendalikan hidupku dengan keyakinan. Penyakit itu hilang. Tak berbekas, hanya dengan keyakinan.

Seiring waktu, aku bertambah dewasa, usiaku semakin bertambah. Dan masuklah aku di duniaku, remaja. Aku masih berjuang menjadi nomor satu. Tapi bedanya, itu bukan ukuranku. Hanya sebuah ambisi pemuas orangtuaku. Perlahan, aku mulai memaknai hidupku. Aku mulai bisa merasakan apa itu sakit dan pengorbanan untuk orang lain, diluar kita dan orang tua. Bukan hanya ambisi dan obsesi yang hidup di dalamku. Aku mengerti tentang cinta,setidaknya demikian. Tapi inilah hidupku, mereka yang yang kusayangi menuliskan sebuah kisah dengan tinta hitam atas hidupku. Yang pada akhirnya kusebut pengkhianatan dan kepurapuraan. Seperti yang kuimajinasikan saat kecilku. Menghadapi bad boy, pengkhianatan, kejenuhanku, aku menyakiti orang yang tulus menyayangiku, kesalahan meletakkan keputusan dan yang baru saja kuhadapi, pengorbanan bodohku. Saat itu adalah masa dimanan aku merasakan hidup tanpa merasakan apapun. Luka batin akibat keyakinanku sendiri. Pengorbanan hati yang selalu melindingi dia dari pikiran terjahatku, yang bisa kukatakan…membodohi diri dari realita yang ada… aku hanyalah--à KOMPLEMENTER baginya.

Tapi aku bersyukur tentang satu hal, luka-luka, masa-masa kebas itu kini telah bertransformasi menjadi sistem penguatku. Aku menjadi manusia utuh, setelah menghadapi semua rasa sakit itu. Aku menjadi Divina yang melampaui Divina 4 tahun lalu, atau bila boleh kulebihkan, melampui Divina semenjak dilahirkan.

“Kak, kantongin kunci motor gue!”, seorang cowok 18 tahun, dengan sleeve putih dan celana basket biru donker melemparkan kunci motornya kepadaku. Aku menangkapnya, dan kuletakkan disisi tempatku duduk. Di teras sebuah aula di sisi kiri lapangan basket. Aku memperhatikan cowok 18 tahun itu, Ara, yang sekarang sibuk dengan bola basketnya, dengan beberapa teman laki-lakinya.

Aneh memang, duduk disini, menunggunya latihan basket, layaknya menunggui seorang pacar. Hampir setiap minggu. Mendengarkan obsesi dan cita-citanya. Dia Ara, yang entah akan kusebut apa, teman atau adik atau…. Entahlah. Kami dekat dan sama..sifat kami sama dan aku takbisa mengatakannya, apakah kami saling memahami atau tidak. Waktu yang kami habiskan selalu di isi dengan saling meneriaki dan menyangkal ucapan satu sama lain. Karena sifat kami memang selalu sama. Terutama sisi keras kepala.

Aku tak tahu akan tetap sepeprti ini sampai kapan. Menjemputku hanya untuk menyuruhku menungguinya di lapangan basket seperti ini. Menemaniku menyelesaikan tugas kuliah hanya untuk memancingku untuk sebuah argumen yang nantinya dia sangkal dan meneriakiku. Memintaku memilihkan sepatu basket untuknya, hanya untuk menolak pilihanku. Ara memang benar-benar…entahlah, apa definisi untuknya.

Apa aku tidak takut merasakan luka lagi? Kurasa tidak. Itulah perbedaannya. Aku membiarkan semuanya berjalan seadanya. Dan aku telah menghadapi lebih banyak sebelumnya. Dan aku cukup yakin, aku kuat.

“Div ! Divina.. woy!”

Aku kembali dari pikiranku. Ara sudah jengkel setengah mati, menatapku. Sepertinya sudah dari tadi dia memanggilku. Aku menaikkan sebelah alisku. “lemparin botol minum gue songong !”

Aku meraih botol di dekat kunci motor Ara. Setengah tersenyum… Dialah ARA !
Dancing Robot Black Blue Heart